12/03/2011

Pandangan Orientalis Barat Terhadap Kepribadian Nabi

Di Barat sudah lama muncul para ilmuwan yang memberikan perhatian terhadap Islam. ini disebut Kaum Orientalis. Di antara mereka (orang - orang Barat yang mendalami Islam itu) ada yang dengan jujur menunjukkan kebenaran Islam, tidak sedikit di antara mereka yang karena fanatik dan dendam akibat perang salib, berusaha mancari – cari kelemahan dan keburukan dalam Islam untuk mengaburkan atau merusak aqidah kaum, muslimin.

Di antara kaum orlentalis yang jujur dalam memandang Islam misalaya Erncat Renan. Ia berkata: "Agama Islam itu sendiri adalah mengandung hukum-hukum yang amat tinggi nilainya. Setiap aku masuk ke dalam masjid Islam, senantiasa tertarik hatiku pada agama itu, walaupun aku belum menjadi seorang muslim". Hal senada juga. diungkapkan oleh Herbert Spencer, ia berkata: "Agama Islam itu penuh dengan wasiat untuk membentuk budi pekerti; semua wajib memegang teguhnya”.

Sedangkan di antara mereka (kaum orientalis) yang fanatik buta dan menunjukkan kabencianmya, terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw. adalah Voltaire dan Pridiaux. Dua orientalis ini menganggap bahwa porkawinan Muhammad dengan Zaynab bind Jahah, bekas istri Zayd bin Harithah (anak angkat Nabi Muhammad Saw.) adalah hanya untuk memnuhi nafsu belaka dan kelihatannya memanipulasi ayat-ayat Al-Quran untuk memuaskan dirinya sendiri. Walaupun sudah memiliki beberapa istri, Muhammad Saw. menurut Voltaire dan Pridiaux, ternyata masih belum puas juga. Selain Voltaire dan Pridieux, juga terdapat A.J. Wensinck. Tokoh orientalis ini sangat memusuhi Islam dan Rasululloh Saw. Ia termasuk salah seorang anggota Lembega. Bahasa Mesir, yang menghasilkan seorang Dr.Tabib Husein al-Hawari, pengaruh buku Orientalis dan Islam. Da1am buku tersebut, diungkapkan pandangan Wensinck yang mengatakan bahwa Rosululloh (Muhammad) Saw. itu mengarang Al-Qur’an degan rujukan buku-buku, agama dan filsafat yang ada sebelumnya.

Begitulah kaum orientalis. Ada yang obyektif dan jujur, tetapi ada juga yang fanatik dan membabi buta ingin menghancurkan Islam dengan berbagai cara.

ORIENTALISME DAN SEJARAH LAHIRNYA

A. Pengertian Orientalisme Dan Ruang Lingkupnya

1. Pengertian Orientalisme

Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata "orient" bahasa Perancis yang secara harfiah berarti "timur". Sedangkan secara geografis berarti "dunia belahan timur", dan secara etnologis berarti "bangsa-bangsa di timur.

Joesoef Sou'yb, dalam bukunya "Orientalisme dan Islam, mengemukakan bahwa kata "orient" itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti "hal-hal yang bersifat timur" yang cakupannya amat luas. Sedangkan "isme" (bahasa Belanda) atau "ism" (bahasa Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu faham. Jadi Orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal‑hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan lingkungannya.

Adapun orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang tercakup di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusasteraan, peradaban, dan agama-agama.

2. Ruang lingkup Orientalisme

Dalam pengertian sempit, orientalisme, adalah kegiatan penyelidikan dari para pakar di Barat mengenai agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara periodik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Penyelidikan tersebut bermula secara terpisah mengenai masing-masing agama itu. Max Muller (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke-19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suet oleh masing­masing agama di Timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri dari 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Books of The East (Kitab-kitab Suci dari Timur) yang biasanya disingkat "SBE". Berkat cara Muller itu dalam membahas masing-masing agama mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati obyektivitas, hal mana cara itu sangat berbeda dengan mana sebelumnya maupun masanya sendiri, maka la pun kemudian dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu yang baru, yang dikenal dengan Comparative Religions (Agama Perbandingan).

Sebenarnya obyek kajian orientalisme cukup luas, yaitu menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Sekedar ilustrasi, Sou'yb membayangkan kegiatan penyelidikan tersebut secara garis besar meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

1. Bidang kepurbakalaan (archeology);

2. Bidang Sejarah (history);

3. Bidang Bahasa (linguistics);

4. Bidang Agama (religion);

5. Bidang Kesusasteraan (literatures);

6. Bidang Keturunan (ethnology);

7. Bidang Kemasyarakatan (sociology);

8. Bidang Adat Istiadat ( customs);

9. Bidang Kekuasaan (politic);

10. Bidang Kehidupan (economy);

11. Bidang Lingkungan (fauna dan flora);

12. Dan lain-Jain.

Sungguhpun kajian orientalisme tersebut sedemikian luasnya, pada pembahasan berikutnya dalam buku ini akan membatasi pada kajian orientalisme mengenai Islam, khususnya tentang Nabi Muhammad saw, Al-Qur'an, dan Islam.

B. Sebab-Sebab Lahirnya Orientalisme

Qasim Assamurai, dalam bukunya "Bukti-bukti kebohongan Orientalis" mengemukakan beberapa pandangan mengenai faktor-faktor penyebab lahirnya orientalisme, antara lain:

1. Bahwa orientalisme itu lahir akibat Perang Salib (1096-1270) atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina. Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat Kristen dan Umat Islam selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Salahuddin al-Ayubi. Permusuhan itu berlanjut pads masa saudaranya, al-Adil, sebagai akibat dari kekalahan beruntun yang ditimpakan pasukan Islam terhadap pasukan Salib. Semuanya itu memaksa Barat membalas kekalahan-kekalahannya.

Ibnu al-Athir dalam bukunya "al-Kamil fi al­Tarikh", mengisahkan kepada kita berita unik bahwa Patrick Baitul Maqdis keluar bersama tokoh-tokoh Salib dan pasukan berkuda ketika Salahuddin al­Ayubi menaklukkan Baitul Maqdis. Mereka berpakaian hitam dan mendemonstrasikan kesedihan atas lepasnya Baitul Maqdis dari tangan mereka. Mereka pergi berkeliling ke negeri-negeri Eropa, meminta pertolongan dan perlindungan kepada penduduk negeri-negeri itu, serta mendorong mereka menuntut balas demi Baitul Maqdis. Jesus Kristus dilukiskan dalam gambar yang dihadapannya terdapat seorang laki-laki Arab yang memukul Jesus. Dalam gambar Jesus itu diperlihatkan darah bercucuran. Mereka berkata kepada penduduk negeri bahwa itulah Jesus yang sedang dipukuli Muhammad, Nabi kaum muslimin; Jesus dilukainya dan dibunuhnya.

2. Terjadinya peperangan berdarah yang berkecamuk antara orang-orang Islam dan Kristen di Andalusia, khususnya setelah Alfonso VI menaklukkan Toledo pada tahun 488 H (1085 M). Dari situ lahirlah gerakan tobat dan penghapusan dosa yang berpusat di biara Kluni yang didominasi para pendeta Venesia dengan pimpinan Santo Peter the Venerable dari Perancis. Dari biara itu, muncul gerakan perubahan Kristen Spanyol dengan semua kitab dan upacara ritualnya, serta menetapkan Kristen Katolik Romawi sebagai agama yang benar. Para pendeta menganggap bahwa agama Kristen Spanyol telah rusak akibat dimasuki oleh banyak unsur Islam. Sebagai tindak lanjutnya, mereka memulai perang terhadap Kristen Spanyol dan kemudian terhadap umat Islam Spanyol.

Lebih lanjut diterangkan bahwa Uskup pertama di Toledo adalah biarawan dari biara Kluni Perancis. Dari biara tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Najib al-Aqiqi dalam bukunya "al‑Mustashriqun", beranjak gerakan reformasi yang meliputi Kristen Eropa; dan biara itu dijadikan pusat penting penyebaran kebudayaan Arab oleh biarawan yang bernaung di situ pada abad ke-12. Pimpinan biara, Peter the Venerable, pergi ke Andalusia untuk menambah ilmu pengetahuan dan ketika kembali ke biaranya, dia mulai mengarang buku-buku yang menyanggah para sarjana dialektik muslim dan menghantam kaum Yahudi. Peter yang terhonnat itu menugasi Petrus atau Pedro Yunani yang masuk Kristen dan berasal dari Fons, Ibrami atau Toledo (dia masuk Kristen tahun 1106 M di kota Huesca yang terletak di timur laut Spanyol dan meninggal tahun 1140 M) untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin. Selain karya terjemahan tersebut disandarkan kepada Petrus dari Toledo, terjemahan al-Qur'an itu juga dinisbahkan kepada Peter the Venerable karena ia menerjemahkannya dengan maksud untuk dapat menyanggahnya.

3. Sebagian lagi berpendapat bahwa lahirnya orientalisme itu ada dua sebab, pertama karena kebutuhan Barat untuk menolak Islam, dan kedua untuk mengetahui penyebab kekuatan yang mendorong umat Islam khususnya setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M) serta tibanya pasukan Turki Usmani ke Perbatasan Wina. Dalam hat ini Islam dipandang merupakan benteng yang menghalangi penyebaran Kristen.

4. Di kalangan ahli teologi berpendapat bahwa lahirnya orientalisme itu merupakan kebutuhan mereka untuk memahami intelektualitas Semit karena ada hubungannya dengan Taurat dan Injil. Untuk itu, mereka bersungguh-sungguh mempelajari bahasa Ibrani, Aram, dan Arab serta kesusasteraan bahasa­bahasa tersebut. Semua itu demi kemudahan dalam upaya penerjemahan kitab-kitab suci dari bahasa Ibrani ke bahasa Latin.

5. Sebagian lainnya berpendapat bahwa orientalisme itu lahir untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur Dekat, Afrika Utara dan Asia Tenggara serta kebutuhan mereka dalam rangka memahami adat istiadat dan agama bangsa–bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Semua itu mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam berbagai bentuknya di perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari pemerintah mereka. Dinyatakan bahwa studi ketimuran (orientalisme) itu akan bermanfaat jika digunakan dalam kegiatan perdagangan, misi dan zending Kristen di tengah-tengah kaum muslim. Karenanya, dalam pranata-pranata keagamaan, seperti Vatikan dan gereja-gereja besar, para pengikutnya di seluruh Eropa mulai membuka sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Arab pada biarawan-biarawan penginjil.

Dari berbagai pendapat mengenai faktor-faktor penyebab lahirnya orientalisme tersebut, menurut Qasim Assamurai masing-masing memang memiliki bukti-bukti induktif, logis serta argumentasi yang cukup kuat. Tetapi, mereka tidak menyinggung pengaruh pemikirtan Islam pada pemikiran keagamaan Kristen selama abad pertengahan. Padahal meluasnya kemerdekaan rasional scsungguhnya banyak ditimbulkan oleh filsafat Ibn al­Rushd dalam pemikiran keagamaan Eropa sejak terjemahan-terjemahan Michael Scott dan yang lain‑lain.

Muhammad al-Bahl dalam bukunya "Pemikiran Islam Modern" menegaskan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab lahirnya orientalisme adalah faktor agama terlebih dahulu. Perang Salib, menurut al-Bahi, telah memberi bekas kepahitan yang mendalam pada bangsa Eropa. Lalu timbul gerakan reformasi Kristen, sehingga umat Kristen merasakan suatu kebutuhan mendesak untuk melihat kembali penafsiran mereka terhadap al-Kitab, dan untuk memahaminya sesuai dengan perkembangan baru, yang dilancarkan oleh kaum reformis. Untuk itu mereka memulai studi tentang bahasa Yahudi (Hebrew). Kemudian mereka mempelajari bahasa Arab lalu agama Islam; sebab yang terakhir ini sangat penting untuk memahami yang pertama, terutama yang bersangkut-paut dengan segi bahasa. Lama kemudian skop studi ketimuran semakin meluas, sehingga mencakup masalah agama, bahasa, peradaban selain Islam dan bahasa Arab.

Pada segi lain umat Kristen ingin menyebarkan agama mereka di tengah-tengah umat Islam, sehingga mereka mengalihkan pandangan kepada orientalisme, agar lebih gampang mempersiapkan dan mengirimkan . para missionaris ke dunia Islam. Kepentingan para missionaris bertemu dengan cita-cita imperialisme, sehingga keduanya bekerja-sama untuk memperkokoh kekuasaan di Timur. Para missionaris meyakinkan para pemimpin penjajah bahwa Kristen akan menjadi dasar imperalisme Barat di dunia Timur. Maka dari itu kaum penjajah memberikan kemudahan kepada missionaris untuk melaksanakan tugasnya dan memberikan perlindungan dan perbekalan harta kepada mereka. Inilah sebabnya bahwa orientalisme, pertama kali, berada di pundak para missionaris dan pendeta, yang kemudian bekerja sama dengan kaum penjajah.

Di samping itu ada sebab-sebab lain yang menimbulkan orientalisme, yaitu faktor perdagangan, politik diplomatik dan faktor individual (kesenangan pribadi) bagi orang yang punya kesempatan dan bekal harta. Orang tersebut menjadikan orientalisme sebagai sarana pemenuhan keinginannya untuk melancong dan melihat peradaban dunia lama.

C. Awal mula lahirnya Orientalisme

Sebenarnya tidak mudah untuk menentukan dcngan pasti kapan awal mula timbul atau lahirnya aliran orientalisme. Namun scbagian ahli sejarah mengisyaratkan bahwa orang Barat Kristen meriwayatkan permulaan timbulnya orientalisme secara resmi itu setelah keluarnya keputusan dari Konperensi Gereja Wina tahun 1312 M tentang pembentukan Departemen-Departemen bahasa Arab di beberapa Universitas yang ada di Eropa.

Isyarat kepada orientalisme gereja tersebut inenunjukkan bahwa sebelum itu telah ada orientalis yang tidak resmi, namun sejarawan Eropa, pada umumnya, tidak menganggap tahun di atas sebagai awal permulaan timbulnya faham orientalisme. Karena itu kita tidak akan menuju kepada penentuan tahun yang pasti, namun yang kita tuju adalah penentuan berdasarkan fase sejarah tertentu sebagai awal mula dari timbulnya aliran atau faham itu.

Tak dapat diragukan lag] bahwa tersebarnya Islam di kawasan Timur dan Barat membuat para cendekiawan Kristen semakin mengamati agama Islam tersebut. Dari sini mereka mulai menaruh perhatian yang besar dan mempelajari Islam. Di antara Ulama Kristen yang paling menonjol dalam mempelajari Islam, bukan dengan maksud menganutnya, adalah Yohana Damshiqi (676­749 M). Salah satu buku yang ditulisnya adalah "Dialoge dcngan Muslim" dan "Beberapa petunjuk kepada orang Kristen untuk mengadakan perdebatan dengan orang‑orang Islam". Sungguh pun demikian kita tak dapat mengatakan bahwa kejadian di atas merupakan awal mula orientalisme. Karena Yohana Damshiqi adalah orang Timur yang hidup di masa dinasti Umaiyah, ia bekerja di Istana Umawi. Di samping itu terdapat perbedaan waktu yang menyolok.

Sebagian peneliti berpendapat bahwa orientalisme dimulai pada abad ke-12 M. Tentang ini Rudi Paret berpendapat bahwa Eropa mulai mempelajari Islam dan Bahasa Arab pada abad ke 12 M. Pada waktu itu al-Qur'an telah diterjemahkan secara sempurna ke dalam bahas Latin. Pada waktu itu juga telah terbit untuk pertama kali kamus bahasa Latin-Arab. Apa yang dikemukakan oleh Paret dalam hal ini telah mendahului apa yang diungkapkan oleh Gustave Dugat dalam bukunya "Sejarah Orientalis Eropa dari Abad ke-12 hingga abad ke-19 M yang telah diterbitkan di Paris pada pertengahan abad ke-19 M yang lalu.

Selain pandangan tersebut ada pula yang beranggapan bahwa awal mula lahirnya orientalisme adalah sejak dua abad sebelum itu, yaitu tepatnya pada abad ke-10 M. Barangkali inilah yang menjadi alasan Najib al-’Aqiqi untuk mengemukakan bahwa orientalisme dimulai lebih dari 1000 tahun yang lalu, yaitu dirintis oleh seorang pendeta Perancis Girber De Ourliak (940­1004 M) yang sedang menuju Spanyol. Ia menimba ilmu dari guru-gurunya di Esabella dan Qordoba sehingga ia menjadi seorang alim terkemuka pada zamannya di Fropa. Ia mendalami peradaban Arab, ilmu pasti dan ilmu falak. Setelah itu ia menyandang jabatan baba di Roma dengan Sylvester II pada tahun 999-1003 M.

Walaupun hakikat orientalisme telah muncul sejak 1000 tahun yang lalu, tetapi pengertian orientalis baru dikenal di Eropa pada sekitar akhir abad ke-18 M atau tepatnya pada tahun 1779 M di Inggris. Setelah itu disusul kemudian pada tahun 1799 di Perancis; dan selanjutnya orientalisme masuk dalam kamus akademi Perancis pada tahun 1838 M22.

Yang penting di sini bukan membicarakan kapan istilah orientalis dan orientalisme itu lahir, akan tetapi yang menjadi topik kita yang utama adalah kapan bahasa Arab dan Islam mulai dipelajari di Eropa dan mulai kapan mereka cenderung mempelajari peradaban Islam, baik dengan tujuan menerima atau menolaknya. Jadi, sebenarnya masalah ini sudah bercokol sejak dulu kala, seperti yang kita saksikan, adapun istilah itu sendiri tidak akan berarti apa-apa kecuali hanya meyakinkan kejadian itu serta memberikan identitas terhadap pelajaran­pelajaran/penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sejak berabad-abad sebelumnya.

Latar belakang munculnya orientalisme secara dini adalah dilatarbelakangi oleh perbenturan antara Islam dan Kristen di Andalusia dan Sisilia, sedangkan perang Salib adalah merupakan motivasi terkuat bagi bangsa Eropa Kristen untuk mempelajari Islam dan adat istiadatnya.

Berdasarkan ini kita dapat mengatakan bahwa sejarah permulaan orientalisme bersamaan dengan sejarah perbenturan antara dunia Kristen/Barat dengan dunia Timur/Islam sebagai agama dan ideologi pada abad pertengahan.

Komentar Beberapa Orientalis tentang Pribadi
Muhammad Saw

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP KEPRIBADIAN MUHAMMAD SAW

Di antara tokoh besar dunia, tak seorang pun yang begitu banyak dicerca orang Barat seperti Muhammad. Selama berabad-abad, Islam adalah musuh besar umat Kristen, lebih-lebih dengan munculnya peristiwa perang salib antara Kristen barat dan Islam Timur yang membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Dendam dan kebencian mereka terhadap Islam dilampiaskan dengan menggambarkan kehidupan Muhammad yang tak bermoral, sehingga tidak patut membawa ajaran agama suci. Dalam satu segi bahkan Muhammad diubah sebutannya dengan Mahaound, yang berarti pangeran kegelapan.

Salah satu anggapan yang memojokkan pribadi Muhammad adalah bahwa dia seorang penipu yang untuk memuaskan ambisi dan nafsunya menyebarkan ajaran-ajaran yang dia sendiri tahu kepalsuannya. Anggapan ini untuk pertama kali diubah dengan gigih seratus tahun lalu oleh Thomas Carlyle dalam ceramah-ceramahnya On Heroes, dan mulai sejak itu makin diterima oleh para sarjana. Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin tanpa ketulusan, Muhammad sanggup menarik kesetiaan bahkan pengabdian dari orang-orang yang berkarakter kuat dan jujur seperti Abu Bakar dan Umar? Bagi seorang yang bertuhan ada pertanyaan labih jauh, bagaimana mungkin Tuhan membiarkan sebuah agama besar seperti Islam berkembang atas landasan penipuan dan kebohongan ?

Tuduhan utama lainnya tentang kebejatan moral Muhammad adalah bahwa ia telah menikahi Zaynab bt. Jahsh, bekas isteri anak angkatnya sendiri atas dasar pemuasan hawa nafsu. Untuk itu perlu kajian yang mendalam apakah perkawinannya dengan Zaynab itu lebih disebabkan oleh dorongan nafsu seksual ataukah tindakan politik yang mengakhiri kebiasaan yang tidak diinginkan tentang anak angkat? Berikut ini akan dibahas Beberapa pandangan yang kontroversial tentang perkawinan Muhammad dengan Zaynab bt. Jahsh.

Perkawinan Muhammad dengan Zaynab bt. Jahsh

Banyak versi tentang kisah perkawinan Muhammad dengan Zaynab binti Jahsh. Di antaranya diungkapkan oleh Tor Andrae dalam bukunya "Muhammad The Man And His Faith ". Andrae menuturkan bahwa pada tahun ke-5 hijriyah telah terjadi pada diri Nabi Muhammad yang barangkali menjadi bahan provokasi bagi barat untuk menilai kepribadian Muhammad. Pada suatu hari Nabi Muhammad berkunjung ke rumah Zayd. Hal ini biasa dia lakukan. tetapi saat itu Zayd sedang tidak ada di rumah. Isteri Zayd, Zaynab bt. Jahsh kemudian menemui Nabi di pintu dalam keadaan berbusana tipis/minim yang biasa dipakai orang Arab di dalam rumah. Muhammad saat itu terpesona dengan kecantikan Zaynab sambil berkata: "Segala puji bagi Tuhan Yang menguasai hati manusia". Saat itu Zaynab mendengar kata-kata Nabi yang kemudian kata-kata itu diulang-ulanginya di hadapan Zayd. Zaynab sebenarnya sudah lama menginginkan Nabi sebagai suaminya, tidak menginginkan Zayd. Di samping berasal dari budak yang telah dimerdekakan, Zayd memiliki perawakan yang kurang menarik; tubuhnya kecil, kulitnya hitam dan hidungnya besar. Mengetahui hal itu, Zayd lalu pergi menemui Muhammad dan menawarkannya untuk menceraikan Zaynab agar Nabi dapat menikahinya. Karena takut publik, Muhammad tidak menerima tawaran itu. Zayd adalah anak angkatnya sendiri. Orang Arab pada saat itu menganggap bahwa anak angkat itu sama halnya dengan anak kandung sendiri.

Menikahi anak angkat dianggap sama dengan menikakhi anak kandung sendiri. Bagi orang Arab, ini sesuatu yang 'aib dan tabu. Akhimya turunlah wahyu yang dapat menghilangkan keraguan dan kekhawatiran Nabi Muhammad Saw sendiri, yakni firman Allah Swt. Surat al-Ahzab, ayat 37.

"Ingatlah ketika kau katakan kepada seseorang yang Allah anugerahi dia nikmat dan kaupun mengaugerahinya nikmat: "Tahanlah isterimu padamu dan bertakwalah kepada Allah", tetapi kau sembunyikan dalam hatimu apa yang Allah hendak nyatakan. Kau takut pada manusia, tetapi Allahlah yang lebih patut kau takuti. Maka tatkala Zayd menceraikan isterinya, Kami kawinkan ia kepadamu, agar tak ada kesulitan bagi orang-orang beriman untuk mengawini isteri anak angkatnya bila mereka sudah menceraikannya. Dan perintah Allah itu harus dilaksanakan".

Akhirnya Muhammad memkahi Zaynab, dan ia (Zaynab) bangga karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia mengatakan bahwa isteri-isterinya yang lain telah dinikahkan oleh keluarga mereka untuk Nabi Muhammad, sedangkan Allah sendiri yang memberikan diriku untuk dirinya di langit tertinggi. Peristiwa ini rupanya tidak mengganggu hubungan Nabi dengan Zayd dan tidak mengurangi kepercayaannya (imannya) kepada Nabi. Sejak itu nama Zayd lebih dikenal dengan sebutan Zayd b. Harithah daripada sebutan Zayd b. Muhammad, sebagaimana sebutan sebelumnya sejak ia diadopsi oleh Muhammad.

Kritik Dan Analisis Terhadap Perkawinan Muhammad­ Zaynab

Dalam bukunya "Muhammad A Biography Of The Prophet", Karen Armstrong memaparkan pandangan beberapa orang orientalis Barat dalam menanggapi kisah perkawinan Nabi dengan Zaynab. Armstrong mengatakan bahwa sejumlah orientalis Barat seperti Voltaire dan Pridiaux beranggapan bahwa Muhammad dengan menikahi perempuan bekas istri anak angkatnya itu menunjukkan betapa sebenamya Muhammad walaupun sudah punya banyak isteri tetapi masih tidak puas karena tuntutan nafsu besarnya itu, dan karena kelihaiannya dalam memanipulasi ayat-ayat untuk kesenangannya sendiri.

Untuk menggambarkan betapa awal perkawinan Muhammad-Zaynab lebih disebabkan oleh tuntutan hawa nafsu, mereka yang termasuk dalam kategori orientalis, seperti Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens menggambarkan pertemuan Muhammad dengan Zaynab sedemikian asyik dan menggiurkan. Mereka menggambarkan Zaynab, ketika terlihat oleh Nabi dalam keadaan setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang hitam panjang lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai. Yang akan dapat menerjemahkan segala arti cinta birahi. Yang lain menyebutkan bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zayd, angin menghembus menguakkan tabir kamar Zaynab. Ketika itu ia sedang terlentang di tempat tidurnya dengan mengenakan baju tidur. Pemandangan ini sangat menggetarkan jantung laki-laki yang gila perempuan dengan kecantikannya itu. la menyembunyikan perasaan hatinya meskipun sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian.

Mereka, dalam menggambarkan kisah-kisah romantis tersebut sebenarnya juga berdasarkan kitab-kitab klassik, seperti Sejarah Nabi, bahkan dari sejumlah kitab tafsir. Sejumlah mufassirin meriwayatkan bahwa Nabi Saw. masuk ke dalam rumah Zayd b. Harithah, kemudian ia melihat isteri Zayd dalam keadaan berdiri hingga ia (Nabi Saw.) terpesona oleh kecantikannya, lalu ia bergumam: "Maha suci Tuhan yang telah merubah perasaan hati manusia”. Dengan redaksi yang hampir semakna Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti dalam Tafsir al-Jalalayn mengungkapkan bahwa saat itu pandangan Nabi jatuh ke arah Zaynab (hinga terpesona), kemudian Zaynab tidak suka kepada Zayd.

Mereka melihat bahwa Muhammad itu manusia biasa yang bernafsu besar (hyper sex), diburu nafsu syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita cantik. Tidak cukup tiga orang saja dalam satu rumah, tetapi la kawin lagi dengan tiga wanita, tidak cukup dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia jatuh cinta dengan Zaynab bt. Jahsh yang masih terikat sebagai isteri Zayd b. Harithah, bekas budaknya.

Secara garis besar, cerita ini tidak terdapat perselisihan, akan tetapi beberapa perincian meragukan, dan beberapa pendapat bisa ditarik dari makna keseluruhan. Seperti semua perkawinan, baik yang dilakukan oleh Muhammad sendiri ataupun yang dilakukan untuk orang lain atas prakarsa Muhammad, perkawinan ini mempunyai implikasi politik.

Dari ibunya Zaynab mempunyai hubungan erat dengan Muhammad, dan ia barangkali merasa mempunyai tanggung jawab terhadap Zaynab. Keluarga ayah Zaynab berada atau pernah berada di bawah Perlindungan ayah Abu Sufyan. Pada saat itu Abu Sufyan sedang memimpin kampanye Mekah melawan Muhammad. Aspek tandingan ini tidak lepas dari catatan terakhir. Kira-kira pada saat bersamaan dua orang saudara perempuan Zaynab kawin dengan dua orang pemimpin muhajirin. Memang perkawinannya dengan Zayd menunjukkan bahwa ia dianggap penting, sebab Zayd memperoleh kehormatan yang tinggi dari Muhammad, bahkan karena kematian anak­anaknya selagi masih kecil mungkin akan menggantikan Muhammad. Karena itu jika ada anggapan bahwa perkawinan Muhammad-Zaynab lebih disebabkan oleh dorongan nafsu seksual karena melihat kecantikan paras Zaynab, maka hal itu kurang masuk akal, sebab jika demikian pastilah Muhammad sudah menyuntingnya beberapa tahun sebelumnya, karena Zaynab adalah keluarga dekat sendiri.

Tentang kisah pertemuan Muhammad dengan Zaynab pada waktu tidak adanya Zayd, dan kemudian tertarik oleh keindahan tubuh Zaynab, tidak bisa begitu saja dipercaya. Hal itu tidak terdapat dalam sumber-sumber terdahulu yang bisa dipertanggung jawabkan. Lebih-lebih lagi Zaynab sudah berumur tiga puluh lima atau tiga puluh delapan ketika kawin. Bagi seorang wanita Arab pada masa itu, hal itu berarti sudah berumur. Zaynab mungkin saja berhias demikian cantiknya bahkan jika terdapat sedikit alasan yang mendasari kisah itu, orang pasti curiga bahwa dalam kisah itu telah diperindah. Gagasan tentang cinta dalam . pandangan pertama nampaknya adalah uraian imaginatif tentang kisah kehidupan Muhammad. Sangatlah tidak mungkin bahwa dalam usia lima puluh enam tahun, orang seperti Muhammad hanyut oleh nafsu terhadap seorang wanita yang berumur hampir empat puluh tahun.

Al-Qadi mengatakan bahwa kisah-kisah yang dibuat oleh mereka, termasuk oleh sebagian mufassirin tentang Nabi Saw pernah melihat Zaynab kemudian jatuh cinta kepadanya, maka kisah-kisah tersebut adalah batil, tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Karena, sesungguhnya Nabi Saw. sering bersamanya dalam banyak kesempatan. Sedangkan pada waktu itu belum ada hijab. Sehingga bagaimana mungkin pada saat-saat di mana Nabi Saw. sering bertemu Zaynab tidak mengalami jatuh cinta, tetapi ketika Zaynab sudah bersuami, Nabi malah jatuh cinta? Hal ini bukan saja terdengar aneh, tetapi juga sangat berlawanan dengan tabi'at Nabi yang mulia, bersih dan suci serta terpelihara dari dosa dan ma'siat.

Pada masa Nabi Saw., masalah skandal cinta tidak menjadi sumber kecaman bagi orang-orang Arab pada masanya. Apa yang dikecam dalam perkawinan ini adalah sifat sumbang. Adalah suatu yang sumbang bagi seorang laki­laki mengawim wanita yang pernah dikawini anaknya; dan anak angkat pada waktu itu dianggap seperti anak kandung sendiri. Hal inilah yang mendorong banyak orang Madinah menentang Muhammad.

Dengan terlaksananya perkawinan Muhammad dengan Zaynab dan didukung oleh turunnya wahyu al-Qur'an yang menyatakan bahwa memperlakukan angkat seperti anak kandung sendiri adalah tidak benar, maka ini merupakan reformasi di bidang hukum, khususnya hukum kekerabatan. Allah dak menghapuskan melekatnya hubungan anak angakat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama ini menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat. Segala pelaksanaan hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama, tidak sebagai anak kandung.

Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas isteri bapak angkatnya, dan bapak angkat boleh kawin dengan bekas isteri anak angkatnya. Tetapi untuk pelaksanaan hukum yang bertentangan dengan adat istiadat masyarakat selama ini, diperlukan keberanian. Untuk itu Allah menunjuk Muhammad sebagai teladan dalam segala hal yang telah diperintahkan dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusta. Ia tidak perlu takut apa yang akan dikatakan oleh orang dalam hal perkawinannya dengan istri bekas budaknva itu. Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takut kepada Tuhan dalam melaksanakan perintahnya. Biarlah dia kawin dengan Zaynab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapak angkat dan anak angkat itu."' Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

"Maka setelah Zayd meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi halangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) istri-istri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan".

Ahamd al-Sawi mengatakan bahwa hikmah dari perkawinan Muhammad-Zaynab adalah membatalkan hukum anak angkat, membedakan antara anak angkat dengan anak kandung dari aspek dilarangnya menikahi terhadap anak kandung dan tidak dilarangnya menikahi anak angkat.

Dari kajian tersebut, jelaslah sudah kekeliruan tuduhan yang di lontarkan kaum orientalis kepada Muhammad bahwa perkawinannya dengan Zaynab itu adalah atas dasar tuntutan nafsunya yang besar (hyper sex), yang tak mampu lagi dikendalikan, sehingga istri anak angkatnya sendiri juga digaitnya. Gambaran tentang nafsu bejat nya Muhammad tersebut, belakangan bukan hanya ditolak oleh ulama Islam, tetapi juga oleh orang Barat sendiri, seperti Thomas Carlyle, W. Montgomery Watt dan juga Karen Armstrong. Mereka meragukan kisah-kisah murahan yang dikemukakan oleh Muir, Dermenghem, washington Irving, Lammens dan lain-lain. Alasannya bukan saja tidak berlandaskan pasa sumber-sumber yang dapat dipercaya, tetapi juga bertentangan dengan sikap dasar seorang pemimpin besar dunia, yang oleh Michael H. Hart, beliau ditempatkan pada peringkat teratas dari pemimpin dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Komentar beberapa tokoh orientalis tentang pribadi Muhammad Saw.

Dante Alighieri (1265-1321 M)

Pandangannnya terhadap Islam dan pribadi Muham­mad dituturkan oleh Tor Andrae sebagai berikut: "Dante menempatkan Muhammad dengan tubuhnya terbelah dari kepada sampai ke pinggang, pada tingkatan yang ke-28 dari inferno (neraka), dan melukiskannya mengoyak-ngoyak dadanya dengan tangannya sendiri, sebab dia itu adalah pemuka dari jiwa-jiwa terkutuk yang membangkitkan perpecahan dalam agama. Kejahatan Muhammad adalah mengembangkan agama palsu".

Kebencian yang diungkapkan oleh Dante Alighieri itu dapat dimengerti bila dilihat dari beberapa faktor, yaitu: Pertama, permusuhan dan kebencian yang diwariskan Perang Salib (1096-1274 M) masih berpengaruh sedemikian rupa di Eropa waktu itu. Kedua, kecuali karya-karya ilmiah dan filsafat, maka manuskrip-manuskrip Arab dalam bidang agama Islam dan sejarah hidup Nabi Muhammad Saw, tidak pernah disalin ke dalam bahasa Latin masa itu. Ketiga, sikap dan pandangan Dante itu disebabkan oleh kebodohannnya terhadap kenyataan sejarah. Keempat, menurut dokumen Vatikan tahun 1927, disebabkan prasangka dan fitnah.

Jean Francois Arouet Voltaire (1694-1778)

Tor Andrae mengungkapkan sikap dan pandangan Voltaire terhadap Islam dan kepribadian Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:

"Di dalam tahun 1742 dalam sebuah karyanya yang berjudul Mohamet, Voltaire melukiskan pribadi Nabi Muhammad Saw itu berlawanan sekali dengan lukisan Sale dan Bulanvillier dan mengecam kedua tokoh itu, la menyatakan bahwa andaikata Muhammad itu seorang prince (pangeran) atau setidak-tidaknya seorang yang diangkat berkuasa oleh pilihan rakyat, dan andaikata dia itu membentuk hukum yang penuh damai ataupun sengaja membela negerinya dari serangan musuh, maka is layak untuk dihormati. Tetapi bila seorang pedagang unta menggerakkan pemberontakan, mengaku sudah bercakap-cakap dengan Jibril, dan mengaku telah menerima kitab yang tiada taranya, yang isi setiap halamannya merangsang kekerasan dan menentang akal, dia itu membunuhi lelaki dan menawan wanita untuk memaksa mereka beriman kepada kitab itu, maka tindakan serupa itu tidak bisa dibela oleh siapa pun juga, kecuali dia terlahir sebagai seorang Turki, ataupun tahayyul telah memadamkan sinar watak di dalam dirinya".

Voltaire memang mengakui dalam tragedi karyanya itu bahwa Muhammad tidak langsung melakukan kejahatan itu. Tetapi dia menyatakan bahwa seseorang yang sengaja melakukan perang terhadap negerinya sendiri, dan mengakui perbuatan itu atas perintah Tuhan, lantas apakah tidak layak untuk dipangil apa pun juga ? Tetapi di dalam karyanya yang belakangan sekali, Essay sur le moeurs, Voltaire memperdengarkan sikap yang lebih lunak terhadap Muhammad, mengakui kebesarannya dan kemampuannya, bahkan menahan dirinya untuk mengecam secara kasar dan brutal, tetapi menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang baru pada agama Muhammad itu kecuali pernyataan bahwa Muhammad itu Rasul Allah".

Sebelum terbit buku Voltaire berjudul Mohamet (1742) itu, pada tahun 1734 M, George Sale telah menyalin kitab suci al-Qur'an, yang terpandang sebagai standard di Eropa dewasa itu. Pada pengantarnya, George Sale membandingkan Nabi Muhammad dengan Theuses, seorang tokoh pahlawan dan pejuang dalam mitologi Grik Tua. Beberapa tahun sebelumnya, De Boulainvilliers menulis karyanya yang terkenal, "Life of Mahommet" (Riwayat hidup Muhammad), dengan suatu tujuan yaitu menonjolkan keagungan Islam dibanding kepada agama Kristen.

Pendapat George Sale dan De Boulainvilliers itulah yang ditantang Voltaire dalam karyanya yang berjudul Mohamet (1742).

Ketika pecah Revolusi Perancis (1789), dan kekuasaan berada di tangan golongan Girondin di bawah pimpinan Maximilian Francois Isidore de Robespierre (1758-1794), agama Kristen dihapuskan dari seluruh Perancis dan digantikan dengan Reason religion (agama akal). Golongan klerik (kependetaan) seperti halnya bangsawan ditangkapi dan dipancung di bawah tiang guillotine (alas pemenggal leher orang) di seluruh kota di Perancis. Tragedi Dahsyat itu membuka Zaman Sekularisasi di Eropa.

Savary (1752 M)

Ia adalah seorang terpelajar dari Perancis. Pada tahun 1752 menerbitkan karyanya berjudul "Le Coran traduit de l'arabe precede d'un abrege de la vie de Mahomet" (Salinan al-Qur'an dari bahasa Arab beserta ringkasan riwayat hidup Muhammad).

Savary mengatakan bahwa seseorang yang melakukan studi terhadap karir Muhammad, niscaya akan kagum kepada sukses-sukses yang dicapai oleh seorang jenius dalam lingkungan yang demikian rupa. Sekalipun ia lahir sebagai idolator (penyembah berhala), kata Savary, tetapi Muhammad bangkit untuk hanya menyembah Allah Yang Maha Esa. Muhammad membangun sebuah agama universal, mengemukakan dogma sederhana yang dapat diterima akal, yaitu keyakinan terhadap Allah Yang maha Esa, yang memberi pahala bagi yang melakukan kebajikan dan

menjatuhkan siksa bagi yang melakukan kejahatan. Tetapi untuk menggerakkan orang supaya menerima doktrinnya itu, kata Savary, Muhammad mengaku dapat wewenwewenang dari Allah. Justru ia menuntut supaya setiap orang menerima kedudukannya sebagai Apostle of God (Rasul Allah). Itulah suatu pious fraud (penipuan suci) yang didektekan oleh suatu komestial rasional. Kemampuan Muhammad dalam bidang politik dan militer dan kesanggupan memimpin pemerintahan, sungguh luar biasa.

Savary, adalah seorang terpelajar Barat yang dengan segala kepastian menolak menyebut Muhammad sebagai Nabi (Prophet), tetapi sebaliknya bersikap mengakuinya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh terbesar yang pernah hidup.

Washington Irving (1783-1859) 200

Pandangannya tentang pribadi Muhammad, di satu sisi nampak obyektif tetapi pada sisi lain tidak, sebagaimana yang dtuturkan dalam bukunya sebagai berikut:

"Kualitas intelektualnya luar biasa tanpa dapat disangsikan. Ia memiliki pemahaman yang cepat, ingatannya yang kuat, imajinasi yang terang. Sekalipun sedikit sekali beroleh pendidikan, tetapi ia begitu tangkas menangkap dan membentuk sesuatunya di dalam ingatannya melalui pengamatan yang ketat. Dalam kehidupan pribadi, dia seorang yang adil. Dia memperlakukan sahabatnya dan orang asing, yang kaya maupun yang miskin, yang berkuasa maupun yang lemah, dalam kedudukan yang sama. Ia dicintai oleh rakyat umum karena keramahannya menyambut mereka, dan sudi mendengarkan keluh kesah yang disampaikan kepadanya"

Masalah kini, apakah ia itu seorang pembohong yang tiada mengacuhkan sesuatu prinsip seperti sering dikemukakan? Apakah seluruh penglihatan dan wahyu yang dikatakannya itu suatu kepalsuan belaka? Di dalam menghadapi masalah itu seseorang harus sadar dalam ingatannya bahwa ia itu tidaklah bertanggung jawab alas sekian banyak keluarbiasaan yang berada di atas namanya. Kebanyakan penglihatan dan wahyu yang dikatakan diwariskannya adalah sesuatu yang palsu. Mukjizat-mukjizat yang dikaitkannya kepada Muhammad itu adalah seluruhnya fabrikasi dari pihak para muslimin yang fanatik. Sedangkan dia sendiri tegas dan berulang-ulang menegaskan bahwa dia tidak mendakwakan mukjizat apa pun kecuali hanya al‑Qur'an; yang keindahan bahasanya tiada tertandingi, yang dikatakan berasal dari wahyu Tuhan, dinyatakannya sebagai mujizat paling besar".

Dalam banyak hal, Washington Irving bersikap obyektif mengenai riwayat hidup Nabi, Muhammad Saw., tetapi mengenai pribadi Nabi Besar Muhammad Saw., bersikap negatif, bagaikan orang membelah bambu, mengangkat yang sebagian dan menginjak sebagian yang lain. Menurut Irving, yang paling disukai oleh Nabi Muhammad Saw. adalah wanita dan harum-haruman. Hal itu dikatakan sebagai "sabda" Nabi Muhammad Saw., tanpa menyebutkan sumber bagi keterangannya itu. Di sini, Irving sebagai seorang sarjana telah melakukan"fabrikasi", sehingga tidak konsisten sepanjang disiplin ilmu.

Thomas Carlyle (1795-1881) 203

Tor Andrae mengungkapkan pandangan Thomas Carlyle terhadap Nabi Muhammad Saw. berdasarkan karyanya On Heroes, Hero Worship (1841), sebagai berikut:

"Carlyle di dalam kuliah kedua pada hari Jum'at tanggal 8 Maret 1840 berjudul Heroes and Hero Worship mulai memberikan uraian tentang kepnibadian Muhammad. Ia menyatakan pandangan pada masa silam bahwa Muhammad itu seorang pembohong, inkanasi dari kepalsuan dan agamanya adalah paduan "chalatanism and stupidity"(Jual obat dan kebodohan). Tetapi menurut Carlyle, pendapat tersebut cuma refleksi dari diri sendiri. Seratus delapan puluh juta umat manusia mengakui Islam sebagai agama yang benar. Dan bagi sedemikian besar jumlah manusia, ucapan­ucapan Muhammad dipandang bintang terang yang membimbing kehidupan. Dapatkah dikatakan mungkin bahwa sekian banyak makhluk yang diciptakan Tuhan sengaja hidup dan mati untuk itu sebagai.suatu penipuan yang tragis? Apakah yang terpikir oleh kita tentang dunia ini, jika chalatanism (Jual obat) mampu memiliki wewenang atas umat manusia yang demikian besar jumlahnya? Praduga serupa itu suatu tanggapan yang menyedihkan dari zaman skeptika, bahkan menunjukkan kematian mental dan spiritual yang membeku. Suatu teori yang yang lebih buruk dari itu tak ada lagi yang dapat menandinginya. Muhammad itu dalam pandangan Carlyle adalah seorang yang jujur, sebagaimana halnya setiap orang besar itu adalah jujur, karena memang begitulah halnya. Kita pun dapat menyebutnya "manusia asli", seorang utusan yang membawa kepada kita berita­berita tentang keazalian dan gaib. Kita pun dapat menyebut­nya sebagai seorang penyair ataupun seorang nabi, karena kita merasakan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkannya bukan kalimat-kalimat manusia biasa.

Dibanding dengan orang-orang sezamannya, Thomas Carlyle mampu memberikan pandangan yang agak positif karena dua hal. Pertama, Carlyle sudah kehilangan kepercayaan terhadap agama Kristen yang dianutnya sejak kecil. Kedua, ia berkenalan akrab dengan tokoh-tokoh Unitarian pada abad ke-19 sehingga mungkin ia pun seorang Unitarian, yakni menganut Unitary Faith yang merupakan inti ajaran Arianism.

Hamilton A.R. Gibb

Gibb adalah seorang tokoh orientalis terkenal dewasa ini, terutama sehabis Perang Dunia Kedua (1939-1945). Banyak karyanya mengenai Islam, baik bersifat makalah maupun buku. Diantara karyanya adalah Mohammedanism. Adapun pandangannya tentang Muhammad adalah sebagai berikut:

“Bagi kita tidak perlu dibicarakan lagi bahwa pengaruh yang diperoleh Muhammad atas kemauan dan kecintaan para sahabatnya adalah disebabkan oleh ke­pribadiannya. Tanpa hal tersebut niscaya mereka akan sedikit sekali menaruh perhatian terhadap klaim sebagai seorang Nabi, karena kualitas moral yang dimilikinya, bukan lantaran ajaran keagamaan, bahwa penduduk Madinah memohonkan bantuannya. Akhirnya, tanpa disangsikan lagi, bahkan juga dalam pandangan para sahabatnya, kedua aspek (risalah dan pribadi) di dalam kehidupannya itu tidak dapat dipisahkan / dibedakan, begitu pula dalam pandangan seluruh muslim dari generasi-generasi belakangan".

Pada bagian lain H.A.R. Gibb mengatakan: "Bila seseorang memalingkan perhatian dari kegiatan umum dalam pengaruhnya dalam bidang moral dan social, tidaklah selamanya mudah memperoleh titik temu antara kebencian theologis dari penulis-penulis Barat pada masa lampau dengan apologi yang tidak meyakinkan dari penulis-penulis pada zaman barn. Penelitian sumber-sumber belum cukup jauh membuat kita mampu membedakan dengan penuh keyakinan antara hadith yang murni pada masa-masa permulaan dengan ciptaan-ciptaan belakangan. Mestilah diakui bahwa tokoh Muhammad itu menderita sekali oleh omong kosong tentang tetek-bengek yang berkaitan dengan Muhammad oleh para pengikutnya pada generasi-generasi belakangan."

Ungkapan Gibb tersebut menunjukkan bahwa Muhammad menjadi carat disebabkan oleh "hadith-hadith" Yang diciptakan oleh generasi-generasi belakangan guna "mengkultuskan" Nabi Muhammad Saw. itu, tetapi akibatnya justru menjadi sasaran empuk dan sangat pahit bagi penulis Barat masa lampau.

Pernyataan Gibb tersebut tidak harus dibantah. Memang harus diakui bahwa banyak sekali "hadith-hadith" Yang bersifat kultus serupa itu, yang tidak dapat diterima akal, bahkan tidak masuk akal kebenarannya. Sebagai contoh pada setiap perayaan maulid sering didengar "hadith-hadith" Yang mengatakan bahwa saat Nabi Muhammad Saw. lahir, maka api pujaan di seluruh kuil kaum Majusi di tanah Iran itu padam, seluruh pohon dan batu sujud sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas lahirnya Muhammad Saw.

Jika dicermati, kecaman-kecaman sengit yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kepribadian Muhammad Saw. itu pada umumnya lebih disebabkan oleh kedangkalan pengetahuan mereka tentang Islam. Karena ternyata, di antara kaum orientalis yang setelah secara obyektif dan jujur mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. pada akhirnya mereka pun mengakui kebesaran dan keunggulan yang dimiliki Nabi Muhammad Saw.

1 komentar:

Jimbaran Wangi mengatakan...

Ini sabgat dianjurkan dibaca oleh umat manusisyg blm paham tentang sejarah hidup Nabi Besar Muhammad SAW. Hal ini penting sbgai benteng iman dari sergapan misionaris Kristen dan katolik dlm upaya mereka menggambarkan Islam yg buruk dgn menyodorkan sejarah Islam yg dibelokan.

Posting Komentar

 
 

© Catatan Si Meow Copyright by Miss Rinda

Template by Blogger Templates | Show Wallpaper